Ringkasan
Blockchain hanya dapat menangani transaksi dalam jumlah terbatas per detik. Misalnya, jaringan Bitcoin dapat memproses sekitar tujuh transaksi per detik. Jika ingin diadopsi secara global, maka teknologi blockchain harus mampu menangani lebih banyak transaksi dan dengan kecepatan yang lebih tinggi, sehingga lebih banyak orang dapat menggunakan jaringan tanpa menjadikannya lambat atau mahal. Namun, karena desain dasar dari kebanyakan jaringan terdesentralisasi, meningkatkan skalabilitas cenderung melemahkan desentralisasi atau keamanan. Inilah yang disebut dengan trilema blockchain. Pengembang yang ingin menyelesaikan masalah ini sedang bereksperimen dengan berbagai mekanisme konsensus dan solusi penskalaan, seperti sharding, sidechain, dan state channel.
Pendahuluan
Pada dasarnya, blockchain adalah database digital terdistribusi. Blok data disusun dalam urutan kronologis. Sejumlah blok dihubungkan dan diamankan oleh bukti kriptografis. Penerapan teknologi ini dalam berbagai industri sudah mengubah pekerjaan dan kehidupan kita.
Gagasan dasarnya adalah dengan blockchain yang terdesentralisasi dan aman, kita tidak harus mengandalkan pihak ketiga lagi agar jaringan atau pasar dapat berfungsi. Namun, para ahli umumnya sepakat bahwa sebelum teknologi ini bisa diadopsi secara lebih luas, ada masalah inti yang harus diselesaikan. Masalah itu disebut dengan “trilema blockchain”.
Istilah ini dipopulerkan oleh co-founder Ethereum, Vitalik Buterin. Untuk memahaminya, Anda harus mengetahui tiga karakteristik yang diinginkan dalam sebuah blockchain: desentralisasi, keamanan, dan skalabilitas. Trilema blockchain adalah konsep yang menyatakan bahwa blockchain sulit mencapai tingkat yang optimal dari ketiga elemen tersebut secara bersamaan. Meningkatkan satu elemen biasanya melemahkan elemen yang lain.
Artikel ini akan menelaah ketiga elemen dalam trilema tersebut secara lebih detail. Dengan membahas masing-masing elemen secara lebih mendalam beserta keterkaitannya antara satu sama lain, kita akan paham mengapa trilema blockchain muncul. Artikel ini juga akan menyoroti beberapa solusi yang telah disarankan oleh para pengembang.
Apa itu desentralisasi?
Bitcoin dan jaringan blockchain yang serupa memiliki sifat terdesentralisasi. Seluruh strukturnya dibuat sedemikian rupa agar tidak ada satu orang atau organisasi yang memegang kendali. Struktur tersebut bersifat terdesentralisasi. Lapisan jaringannya terbuka bagi siapa pun yang ingin berpartisipasi. Akibatnya, kontrol bersifat terdistribusi alih-alih dipegang oleh satu entitas. Siapa pun memiliki akses ke data yang sama. Jika ada orang yang mencoba untuk mencurangi sistem dengan mengubah catatan sesuai keinginan mereka, maka seluruh peserta lainnya akan menolak data yang salah tersebut.
Pembahasan ini cukup teknis, tetapi mari pakai jaringan Bitcoin sebagai contoh. Tidak ada pihak ketiga yang memegang kendali. Bandingkan dengan sistem keuangan yang membutuhkan bank. Bank tersebut menegakkan trust (kepercayaan) di antara orang yang bertransaksi dan memastikan bahwa semua catatan disimpan dengan benar. Namun, blockchain Bitcoin membagikan semua data tersebut dengan semua orang pada jaringan sehingga data tersebut dapat diperiksa dan dikonfirmasi sebelum ditambahkan ke database digital. Hasilnya, sebuah sistem bisa terbentuk tanpa memerlukan pihak ketiga.
Desentralisasi menawarkan kemungkinan yang disebut dengan Web3. Saat ini kita memiliki Web2, yaitu internet masa kini. Web2 penuh dengan situs dan aplikasi yang dikontrol oleh perusahaan, tetapi memiliki konten yang dibuat oleh pengguna. Web3 adalah terobosan berikutnya. Web3 adalah sebuah internet dengan teknologi blockchain terdesentralisasi yang memungkinkan orang mengontrol data dan kehidupan online mereka sendiri.
Namun, harap diperhatikan bahwa cara kerja sistem yang terdistribusi ini — diperlukan sejumlah besar peserta untuk menyetujui validitas setiap data — menyebabkan waktu transaksi terkadang menjadi lambat karena informasi harus dibagikan dan diproses. Oleh karena itu, blockchain perlu diskalakan agar dapat menangani lebih banyak data dengan kecepatan yang lebih tinggi. Kita akan kembali ke poin ini saat membahas skalabilitas.
Selain itu, desentralisasi hanya terwujud jika blockchain dasarnya aman. Jika keamanan sebuah blockchain tidak memadai, maka pelaku kejahatan dapat mengambil alih kendali dan mengubah data sesuai keinginan mereka. Hal ini melahirkan elemen kedua dari trilema ini: keamanan.
Apa itu keamanan blockchain?
Desentralisasi akan percuma jika sebuah blockchain tidak aman. Jaringan blockchain yang baik harus tahan terhadap serangan dari entitas yang jahat. Keamanan sistem tersentralisasi berasal dari sistemnya yang bersifat tertutup. Siapa pun yang memegang kendali dapat menjamin bahwa data bebas dari gangguan. Namun, bagaimana cara mencapai hal ini dalam sistem terdesentralisasi yang memungkinkan siapa pun untuk berpartisipasi?
Topik ini rumit, tetapi kita bisa memakai Bitcoin kembali sebagai contoh keamanan blockchain terdesentralisasi. Blockchain Bitcoin menggunakan kombinasi kriptografi dan mekanisme konsensus jaringan yang disebut Proof of Work (PoW). Dalam hal kriptografi, setiap blok memiliki sejenis tanda tangan digital (atau hash). Setiap blok data terhubung sedemikian rupa sehingga tidak dapat dirusak, karena setiap modifikasi akan mengubah hash blok. Setiap upaya untuk mengubah data akan segera teridentifikasi oleh seluruh jaringan.
Mekanisme konsensus PoW adalah komponen lainnya. PoW membantu mengamankan buku besar mata uang kripto. Diperlukan artikel tersendiri untuk memahami konsep Proof of Work, tetapi untuk tujuan artikel ini, perlu diketahui bahwa anggota jaringan hanya dapat memverifikasi transaksi baru dan menambahkannya ke buku besar melalui aktivitas yang disebut mining. Aktivitas ini mencakup penggunaan daya komputasi untuk menyelesaikan puzzle matematika. Komputer yang digunakan perlu melakukan sejumlah fungsi hashing. Karena mekanisme PoW aman tetapi relatif lambat, proses ini berdampak pada skalabilitas.
Perhatikan juga bahwa makin banyak peserta (node), jaringan akan makin aman. Makin besar jumlah peserta, makin sulit bagi satu pihak untuk mengambil alih kendali sistem. Hal ini berkaitan dengan hal yang disebut dengan serangan 51%. Jika entitas tunggal (atau sekelompok pelaku kejahatan) dapat mengontrol lebih dari 50% total tingkat hashing jaringan, maka mereka akan dapat mengambil alih konsensus dan mengubah data chain demi keuntungan diri sendiri, seperti pengeluaran ganda.
Singkatnya, keamanan adalah persyaratan dasar agar sebuah blockchain dapat berhasil. Tanpa keamanan, para penyerang dapat mengambil kendali chain.
Apa itu skalabilitas?
Skalabilitas menggambarkan blockchain yang dapat mendukung banyak transaksi per detik. Penskalaan diperlukan jika teknologi blockchain ingin melayani masyarakat yang lebih luas, bahkan mungkin miliaran pengguna. Namun, kebanyakan blockchain masih kesulitan dalam aspek ini.
Hal ini karena desentralisasi dan keamanan begitu fundamental terhadap blockchain, sehingga keduanya cenderung diprioritaskan terlebih dahulu. Desentralisasi sangat penting sebagai etos dan tujuan blockchain, sehingga menjadi inti dari sejumlah blockchain yang paling populer. Seperti yang sudah dibahas, keamanan adalah persyaratan inti agar sebuah blockchain dapat menjadi berhasil dan berguna.
Namun, dengan memprioritaskan desentralisasi dan keamanan, skalabilitas menjadi tantangan. Jumlah transaksi yang dapat ditangani oleh sebuah chain bisa sangat terbatas. Sistem pembayaran tersentralisasi seperti Visa menyatakan bahwa mereka mampu mendukung 24.000 transaksi per detik. Hal ini dikarenakan jaringannya bersifat tertutup dan bebas dari mekanisme seperti node publik dan konsensus. Bandingkan hal ini dengan sejumlah blockchain yang paling populer.
Menurut Bloomberg pada tahun 2022: “Per bulan September, Bitcoin tidak dapat menangani lebih dari tujuh transaksi per detik. Ethereum, jaringan paling populer kedua, terbatas pada 15 transaksi per detik. Angka ini berbeda jauh dibandingkan dengan pertukaran konvensional.”
Seperti yang disebutkan, kecepatan transaksi blockchain ini terbatas karena informasi perlu diproses oleh berbagai peserta yang membentuk jaringan terdesentralisasi dan sifat mekanisme konsensus PoW itu sendiri. Jika makin banyak anggota masyarakat mulai menggunakan teknologi blockchain, jaringan akan menjadi macet karena terbatasnya jumlah transaksi per detik yang dapat ditangani.
Alasan adanya trilema blockchain
Solusi yang paling jelas dari masalah di atas adalah mengurangi jumlah peserta yang mengonfirmasi dan menambahkan data ke jaringan untuk mencapai penskalaan dan kecepatan yang lebih besar. Namun, hal tersebut dapat melemahkan desentralisasi karena kontrol diserahkan ke sejumlah kecil peserta. Hal tersebut juga akan melemahkan keamanan karena makin sedikit pemain berarti makin tinggi peluang serangan.
Karena hubungan antara desentralisasi dan keamanan, desain dasar dari cara kerja blockchain menjadikannya sulit diskalakan. Jika elemen yang satu ditingkatkan, elemen lain akan dilemahkan. Bagaimana cara mendorong skalabilitas tanpa mengorbankan desentralisasi, keamanan, atau keduanya?
Menyelesaikan trilema blockchain
Tidak ada satu solusi emas untuk trilema ini. Mengingat pentingnya masalah ini, sudah ada berbagai macam pendekatan dari komunitas dengan hasil yang menarik. Mari kita bahas beberapa pengembangan yang paling populer:
1. Sharding
Metode ini membagi blockchain (atau jenis database lainnya) menjadi beberapa blockchain yang dipartisi dan lebih kecil yang mengelola segmen data tertentu. Cara ini tidak membebankan satu chain dalam menangani semua transaksi dan interaksi pada sebuah jaringan. Setiap blockchain yang dipartisi disebut sebagai shard yang memiliki buku besar khusus. Kemudian, shard tersebut dapat memproses transaksi sendiri. Sementara itu, beacon blockchain atau main chain mengelola interaksi di antara shard. Hal ini menjadikan sharding sebuah peningkatan skalabilitas jaringan Lapisan 1, karena merupakan perubahan terhadap mainnet blockchain.
2. Mekanisme konsensus yang berbeda
Salah satu alasan adanya trilema dalam jaringan Bitcoin adalah terkait cara kerja PoW dalam memastikan keamanan. Miner, algoritme kripto, dan daya komputasi terdesentralisasi dalam jumlah besar menghasilkan sistem yang aman, tetapi lambat. Menemukan cara lain untuk mengamankan konsensus adalah salah satu pendekatan dalam menyelesaikan trilema tersebut. Ini merupakan salah satu alasan di balik peralihan Ethereum dari PoW ke Proof of Stake (PoS).
Dalam blockchain PoS, peserta yang terlibat dalam proses validasi transaksi harus melakukan staking (mengunci) token mereka. Mereka tidak memerlukan mesin mining khusus. Proses menambahkan lebih banyak validator ke jaringan menjadi lebih sederhana dan lebih mudah diakses. PoS hanyalah salah satu dari berbagai macam mekanisme konsensus yang mempertimbangkan skalabilitas.
3. Solusi Lapisan 2
Sharding dan mekanisme konsensus yang berbeda termasuk ke dalam solusi Lapisan 1. Keduanya bertujuan untuk mengubah desain dari jaringan dasar. Namun, pengembang lain yang ingin menyelesaikan trilema ini telah mengerjakan solusi yang dibangun di atas struktur jaringan yang sudah ada. Mereka yakin bahwa jawabannya terletak di lapisan kedua, atau Lapisan 2. Contohnya meliputi sidechain dan state channel.
Sidechain pada dasarnya adalah blockchain terpisah yang terhubung ke main chain. Sidechain diatur sedemikian rupa sehingga aset dapat mengalir dengan bebas di antara sidechain dan main chain. Hal yang penting adalah sidechain dapat beroperasi berdasarkan berbagai aturan, sehingga memungkinkan kecepatan dan skala yang lebih besar. State channel merupakan cara lain untuk mengalihkan transaksi dari main chain dan meringankan tekanan pada Lapisan 1. State channel menggunakan smart contract, bukan chain terpisah, untuk memungkinkan pengguna saling berinteraksi tanpa menerbitkan transaksi mereka ke blockchain. Blockchain hanya mencatat awal dan akhir saluran.
Penutup
Trilema blockchain menghalangi blockchain dalam mewujudkan potensinya sebagai teknologi masa depan. Jika jaringan blockchain hanya dapat menangani sejumlah kecil transaksi per detik untuk mempertahankan desentralisasi dan keamanan, maka adopsi massal akan sulit dicapai. Namun, solusi yang saat ini diajukan oleh para pengembang menunjukkan bahwa kemajuan teknologi blockchain akan terus berlanjut dan jaringan ini diharapkan mampu menangani lebih banyak data di masa depan.